Facebook SDK

Dalam kehidupan ekonomi modern, harga-harga memainkan peranan yang sangat penting. Hal ini dikarenakan produsen, konsumen (termasuk dunia perbankan, pedagang ekspor-impor, dan pemerintah) bertindak berdasarkan pertimbangan serta perbandingan harga.

a. Nilai dan Harga

Para ahli filsafat telah lama memikirkan persoalan harga dan nilai. Pada zaman dahulu, ketika uang belum begitu berperan, yang lebih diutamakan adalah pengertian nilai barang. ARISTOTELES (384-322 SM) pada tahun 300 sebelum Masehi telah membahas masalah ini. Menurut Aristoteles, suatu barang memiliki nilai karena berguna bagi yang memilikinya (nilai pakai) atau karena barang tersebut dapat dipertukarkan dengan barang lain (nilai tukar). Jenis-jenis nilai ini masih dapat dibedakan menjadi obyektif dan subyektif.

  • Nilai Pakai (Value in use atau Utility) adalah kemampuan suatu barang untuk memenuhi kebutuhan manusia:

    1. Nilai Pakai Obyektif: kemampuan atau sifat barang untuk memenuhi kebutuhan manusia, yaitu kegunaan atau faedah barang.
    2. Nilai Pakai Subyektif: penilaian seseorang terhadap suatu barang berdasarkan kemampuan barang tersebut dalam memenuhi kebutuhannya. Penilaian subyektif ini dapat berbeda-beda tergantung pada situasi, kondisi, serta mendesaknya kebutuhan seseorang dan ketersediaan barang.
  • Nilai Tukar (Value in exchange) adalah kemampuan suatu barang untuk dipertukarkan dengan barang lain di pasar:

    1. Nilai Tukar Obyektif: kemampuan suatu barang untuk dipertukarkan dengan barang lain.
    2. Nilai Tukar Subyektif: penilaian yang diberikan seseorang ketika barang tersebut akan ditukar dengan barang lain.
Harga suatu barang adalah nilai tukar barang tersebut yang dinyatakan dalam bentuk uang. Jadi, antara nilai dan harga tidaklah sama; nilai suatu barang diukur dengan membandingkannya dengan barang lain, sementara harga diukur dengan uang. Nilai suatu barang menjadi dasar untuk penentuan harga barang tersebut.

Pada abad pertengahan, masalah harga lebih difokuskan pada segi moral—baik buruk, halal dan haram. Yang dipersoalkan adalah apakah harga suatu barang itu "adil" (wajar/pantas = just price). Harga yang diminta oleh produsen dalam menjual barang dapat mempengaruhi kesejahteraan pembeli atau masyarakat, sehingga perlu dijaga agar tidak terjadi eksploitasi terhadap sesama, terutama bagi mereka yang miskin. Hal ini sangat relevan dalam pinjam-meminjam uang dengan bunga yang tinggi.

Sementara itu, kaum klasik mempersoalkan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan tinggi rendahnya harga suatu barang. Meskipun jelas bagi mereka bahwa suatu barang tidak akan diproduksi jika barang tersebut tidak berguna bagi konsumen, perhatian mereka lebih terfokus pada segi biaya produksi.


Biaya Produksi sebagai Dasar Harga dan Nilai: Teori Nilai Obyektif

ADAM SMITH (1723-1790) menegaskan bahwa nilai atau harga suatu barang ditentukan oleh biaya produksinya. Dalam masyarakat yang masih sederhana, nilai tukar atau harga suatu barang terutama ditentukan oleh banyaknya kerja manusia yang dicurahkan untuk menghasilkan barang tersebut. Namun, dalam masyarakat yang lebih maju, biaya-biaya produksi lainnya seperti upah tenaga kerja, biaya bahan baku, sewa tanah, bunga modal, dan laba pengusaha juga harus diperhitungkan.

DAVID RICARDO (1772-1823) membatasi biaya produksi hanya pada tenaga kerja manusia. Jadi, harga suatu barang bergantung pada banyak sedikitnya kerja manusia yang dicurahkan dalam produksi barang tersebut. Ia membedakan antara barang seni dan barang biasa. Nilai dan harga barang seni ditentukan oleh banyaknya penggemarnya; semakin banyak penggemarnya, semakin tinggi nilai dan harganya. Hal ini berbeda dengan barang biasa yang dapat diproduksi dalam jumlah banyak. Teorinya dikenal dengan nama teori nilai kerja.

Contoh perhitungan nilai barang berdasarkan kerja:

  • Jagung (kg): 20 jam kerja
  • Beras (kg): 10 jam kerja
  • Kain (meter): 80 jam kerja

Menurut teori ini, jagung dan beras akan dipertukarkan dengan perbandingan 2 kg jagung untuk 1 kg beras. Satu meter kain dapat dijual dengan "harga" 4 kg jagung atau 2 kg beras. Dengan cara ini, barang dipertukarkan berdasarkan biaya produksi atau jumlah jam kerja yang dikeluarkan.

KARL MARX (1818-1883) mengambil alih teori Ricardo, tetapi dengan pendekatan yang lebih sempit. Menurut Marx, tenaga kerja adalah satu-satunya sumber nilai. Nilai dan harga setiap barang ditentukan oleh jumlah kerja (rata-rata) yang dicurahkan dalam proses produksinya. Marx juga menarik kesimpulan bahwa laba (selisih antara harga jual dan biaya produksi) dikenal dengan istilah "nilai lebih."

HENRY CAREY (1793-1879) memperbaiki teori nilai biaya produksi dengan menunjukkan bahwa yang lebih penting bukanlah biaya-biaya yang telah dikeluarkan (harga historis), tetapi biaya-biaya yang diperlukan untuk menghasilkan kembali barang yang sama (biaya reproduksi). Teori-teori ini dikenal dengan nama teori nilai obyektif.

Kelemahan teori ini adalah karena hanya menjelaskan terjadinya nilai dari segi biaya produksi atau perspektif produsen. Padahal, nilai dan harga tidak hanya bergantung pada produsen saja. Konsumen dan selera mereka juga mempengaruhi. Mengapa teori ini hanya membatasi penjelasan pada biaya produksi dan mengabaikan segi kegunaan barang?

Jika Anda mengalami kesulitan dalam mata kuliah ini, silakan hubungi saya melalui 

email: ayobicarasantun@gmail.com.

Post a Comment

Berkomentar sesuai dengan judul blog ini yah, berbagi ilmu, berbagi kebaikan, kunjungi juga otoriv tempat jual aksesoris motor dan mobil lengkap

Lebih baru Lebih lama